Jujur aja, dulu saya lumayan skeptis sama perihal LDR (Long Distance Relationship). Rasanya, enggak mungkin aja LDR tuh beres, pasti ada aja pihak yang cheat, bosen, atau cepat nyerah. Banyak bangetlah enerji yang harus disiapin. Tapi, itu enggak semuanya benar. Cuma ya, LDR emang bukan buat semua orang. Dan akhirnya, saya salah satu dari bukan semua orang itu. Hehe
Berbulan bulan, kegelisahan seorang teman kuliah yang saya kenal sejak 2011 mencuri perhatian saya, pesannya wara wiri di timeline twitter. Sampai di pertengahan tahun, saya memutuskan menyapa dia. Tidak disangka dan diduga, yang bersangkutan nyapa balik lewat dm (direct message twitter). 3 hari kita dm-an di twitter Abang Abang yang lagi di Okinawa (Jepang) itu, minta nomor WhatsApp Mbak Mbak yang lagi di Tangerang Selatan (Indonesia). 9 tahun kenal, kita ga punya nomor satu sama lain. Baru punya ide tukeran nomor setelah terpisah beda negara.
Percakapan teks berlanjut di WhatsApp, sampai Angga berinisiatif untuk mencocokan waktu luang, agar kita bisa telfonan, berhubung ada perbedaan waktu 2 jam. Okay, percakapan pertama kita terlaksana di pertengahan Juli. Tuhan makasih ya, di 2020 sudah ada teknologi WhatsApp Call dan wi-fi yang sinyalnya cukup okay. Kalo engga, saya enggak tau deh harus bayar tagihan percakapan interlokal selama 9 jam nonstop ini pakai apa. Kita ngobrol dari matahari terbenam sampai terbit lagi. Wow. Padahal satu satunya percakapan agak panjang yang kita inget, adalah pertemuan di depan ruang kepala jurusan. Waktu kita lagi sama sama ngurusin persiapan sidang skripsi. Percakapan lainnya? Ga ada sih. Hehe. Ga ada yang berarti, cuma sekedar “say hi” aja.
Hari hari terus berlanjut, kita saling kirim kirim pesan. Dari bangun tidur, sampai mau tidur. Ya udah macem orang PDKT gitu deh. Berbagi ide masak simple, karena dia sering masak sendiri. Laporan habis beberes apartment segala juga. Wah mandiri sekali ya Abang Abang ini, gumam saya dalam hati. Karena di pertengahan Juli kita masih sama sama di fase susah tidur, jadilah kita sering ngobrol sampai pagi. Apa aja kita obrolin, pandangan tentang pernikahan dan relationship, karakter satu sama lain, dan ditemukanlah fakta bahwa band kesukaan kita sama! COLDPLAY!
Tentu saja saya langsung semangat 45 ngomogin band asal Inggris ini. Termasuk cerita waktu saya nonton film dokumenter “A Head Full of Dreams” yang menyelamatkan saya dari putus asa dalam keblangsakan hidup di 2018. Walaupun nontonnya dengak 2 jam karena dapet duduk di row 2, saya keluar studio dengan perasaan hidup tuh harus dilanjutin ajalah. Dengan tujuan berbagi energi baik, kisah dan perjalanan Chris Martin, Jonny Buckland, Guy Berryman, Will Champion jadi film pertama yang kita tonton bareng. Sekali lagi, terimakasih teknologi. Fitur share screen dari zoom dan skype mengakomodir kami nobar walaupun dipisahkan jarak dan pandemi.
Belasan hari berlalu, Juli sudah mau habis, mulailah saya yang sudah tidak ABG ini mempertanyakan di dalam hati, mau dibawa kemana hubungan kitaa~. Setelah kegagalan berulang di relationship sebelumnya, yang mana adalah akibat ke-sotoyan & ego saya yang tidak mau mendengar pendapat orang lain. Saya balik ke cara konservatif, minta pendapat orang. Tak lain tak bukan, sekalian minta restu ini sih namanya. Nelfon Papa lah! Laporan kalau ada lelaki yang lagi sering saya pantengin di layar laptop, yang bikin saya ga ngeh ada telfon dari Papa. Tanpa butuh penjelasan panjang kali lebar kali tinggi, Papa approved. Yah tambah galau lah, saya merefleksikan diri apakah ini hanya sekadar ke GR-an. Atau, emang inilah jawaban dari pencarian bertahun tahun.
Engga lama sehabis curhat sama Papa. Gayungpun bersambut. Dipicu oleh pertanyaan salah satu teman kita, Erinne Natalie, kita ada hubungan apa ko saban hari video call. Tercetuslah diskusi hubungan kita ini apa. Singkat cerita, kita berdua sepakat memutuskan, okay we’re officially in relationship. Langkah selanjutnya adalah, kita harus bikin rules di hubungan yang sepertinya butuh effort dan kesabaran lebih ini.
Begitu kita go public, tentu saja teman teman satu circle mempertanyakan “Kok bisa sih?”. Ya sama, saya juga bertanya tanya. Segala keraguan dan kebimbangan menghantui di awal awal hubungan. Bisa engga sih ke-LDR-an dijalanin? Serta pertanyaan pertanyaan lainnya. Sampai saya menemukan jawabannya. Jawabannya, karena orangnya adalah Erlangga.
Dia bikin saya engga buang enerji buat mikirin, dia pergi sama siapa, ngapain, atau pergi kemana. Saya yakin, Angga adalah orang yang cukup bijak dengan kepercayaan yang sudah dikasih dan kita bangun bersama. Walaupun waktu kuliah kita enggak pernah hang out bareng, temen temen deket saya, juga temen temen dekat dia. Saya udah sedikit tahu, bahwa Angga engga punya track record buruk dalam urusan komitmen, ataupun karakter negatif lainnya.
Dia bikin saya menyepakati bahwa silent treatment bukanlah metode yang boleh kita ambil dalam menghadapi perselisihan di hubungan kita. Emosi apapun yang dialami, harus diproses dengan sebaik baiknya cari jalan tengah untuk diungkapkan dan disampaikan. Pernah sekali waktu, saya marah banget sama Angga. Saya minta waktu 5 menit buat tutup telfon. Saya gunakan injury time buat tarik napas, mikir sebenarnya apa yang buat saya marah dan gimana cara saya nyampeinnya.
Dia bikin saya selalu memegang teguh prinsip menghormati satu sama lain. Terutama dalam kegiatan yang paling sering kita lakukan, ngobrol. Engga sekalipun kita ngeluarin kata kasar walaupun dalam keadaan marah dan bete bete-an. Bukan jaim, tapi bersama pasanganlah kita akan menghabiskan waktu paling banyak. Saya takut aja, kalau kata yang dipilih saat emosi marah akan membekas di hati sampai puluhan tahun ke depan. Kalau sama orang lain aja bisa bermanis manis, dan berusaha untuk tidak menyakiti, apalagi sama pasangan.
Hal hal tersebut bikin ketakutan saya terhadap LDR musnah satu persatu. Walaupun sementara ini lebih banyak menghabiskann waktu bersama di depan layar, hal hal yang kita lalui bersama selama hampir setengah tahun ini, sama sekali tidak bikin saya merasa kurang diperhatikan atau disayang. Paling, cuma harus sabar menahan rindu dan gemes. Mau toel toel pipi enggak bisa, padahal jaraknya cuma satu jengkal. Jadi cuma bisa ketuk ketuk layar laptop.
Memang lain ladang belalang, saya tau kapan yang saya tunggu akan pulang. Saya tahu, enggak selamanya kita akan terus terus ketiduran di samping laptop masing masing. Akan ada waktunya kita bisa makan cheetos sebungkus berdua. Untungnya segala metode yang kita ramu di awal memutuskan berkomitmen terlaksana banyak. Walaupun pada pelaksanaannya, banyak miss, dan butuh penyesuaan sana sini. Sama lah kayak dulu kita susun run down acara waktu jaman kuliah. Juga sama aja kayak hubungan lainnya, saya juga sering bercucuran air mata, cranky, dan moody-an. Buat yang ini, saya terimakasih sama Angga yang stok sabarnya banyak banget!
Kalo bukan Erlangga orangnya, saya engga mungkin jalanin ini semua. Terimakasih Erlangga, sudah bikin setengah tahun perjalanan LDR di 2020 ini jadi effortless. Karena orangnya memang harus Erlangga, yang bikin saya yakin ngejalanin ini semua, juga untuk puluhan tahun ke depan yang akan dilalui. Much love.
